Menjaminkan Tanah Atas Nama Bersama Oleh Satu Orang, Bisakah?

 

Dalam kehidupan di masyarakat, biasanya terdapat beberapa alasan mengapa sebuah aset berupa tanah dalam satu Sertifikat Hak Milik (”SHM”) dapat diatasnamakan secara bersama atau lebih dari satu orang. Hal itu dapat disebabkan karena sebuah tanah yang merupakan tanah warisan dari orang tua, kemudian untuk menjaga aset tanah tersebut maka ahli waris sepakat mengatasnamakan tanah hasil warisan tersebut menjadi atas nama bersama dalam satu SHM. Selain dari itu, apabila seseorang ingin membeli tanah secara patungan sehingga satu tanah dibayar oleh dua orang atau lebih. Sebagai bukti bahwa tanah tersebut dibeli oleh dua orang atau lebih, perlu ada suatu dokumen tertulis yang menyatakan bahwa kedua orang tersebut mempunyai hak atas tanah dan dokumen tersebut bisa menjadi alat bukti yang kuat.

Saat ini tanah masih merupakan benda atau objek jaminan untuk pembayaran utang yang paling diterima oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Tidak jarang, ketika seseorang membutuhkan dana untuk keperluan tertentu, tanah masih menjadi solusi sebagai jaminan dalam peminjaman uang. Dalam hal ini timbul sebuah pertanyaan, apakah dapat menjaminkan tanah atas nama bersama hanya satu orang saja ? Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (”UU Hak Tanggungan”) mengatur bahwa pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Artinya, pemberi Hak Tanggungan yang mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum adalah pihak yang dapat bertindak bebas atas tanah tersebut.

Perbuatan hukum yang termasuk dalam unsur Pasal 8 ayat (1) UU Hak Tanggungan tersebut merupakan tindakan yang bisa meliputi bidang yang sangat luas, bisa meliputi tindakan-tindakan pengurusan (beheer) maupun tindakan-tindakan pemilikan (beschikking). Tindakan pemilikan (beschikking) merupakan tindakan yang membawa (atau bisa membawa) akibat perubahan, tanpa ada keharusan untuk melakukan tindakan tersebut, perubahan itu bisa berupa bertambah atau bahkan berkurangnya suatu kekayaan atau bagian kekayaan tertentu, seperti tindakan menjual, menghibahkan, menukarkan, atau membebani. Artinya, yang dimaksud dengan kewenangan mengambil tindakan hukum dalam Pasal 8 ayat (1) UU Hak Tanggungan adalah kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan. Pihak yang dapat melakukan tindakan pemilikan adalah pihak yang mempunyai hak atas tanah tersebut.

Apabila dalam sertifikat tanah tersebut tidak diberikan kepada setiap orang dengan menyebutkan besarnya bagian masing-masing orang sebagaimana terdapat dalam Pasal 31 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (”PP Pendaftaran Tanah”), dikarenakan tidak ada pembagian secara jelas dalam sertifikat hak atas tanah, serta yang akan dijaminkan adalah hak atas tanah tersebut sebagai satu kesatuan, bukan masing-masing para pihak. Maka yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum atas tanah tersebut adalah pihak atas nama yang terdapat di dalam sertifikat tersebut. Berdasarkan Pasal 101 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (”Permen Agraria 3/1997”) yang menetapkan bahwa Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, menjaminkan tanah atas nama bersama oleh satu orang saja tidak dapat diletakkan jaminan Hak Tanggungan di atas tanah tersebut, namun apabila kedua orang lainnya tersebut telah memberikan surat kuasa khusus kepada satu orang yang akan menjaminkan tanah  bertindak untuk dan atas nama mereka, maka satu orang tersebut dapat menjaminkan tanah atas persetujuan dari kedua orang lainnya tersebut.